Jumat, 25 Oktober 2013

Makalah Metode-Metode Ijtihad



BAB I
PENDAHULUAN

“Ijtihad menurut istilah ulama ushul fiqih mencurahkan segala kesungguhan (tenaga dan pikiran) untuk menemukan hukum syar’i dari dalil-dalil yang tafshi dari kaidah-kaidah hukum syara’
Objek ijtihad ialah setiap peristiwa hukum, baik sudah ada nashnya yang bersifat zanni maupun belum ada nash-nya sama sekali. Dalam pada itu ijtihad adalah dogma yang penting sekali bagi pembinaan dan perkembangan hukum islam. Terbuka bebasnya ijtihad dalam hukum islam, tidak berarti bahwa setiap orang boleh melakukan ijtihad, melainkan hanya orang-orang yang telah memiliki syarat-syarat tertentu pula, baik yang berhubungan dengan sikap ketika menghadapi nash-nash yang berlawanan.
Ijtihad adalah suatu jalan untuk mendapatkan ketentuan-ketentuan hukum dalil-dalil ketentuan itu dan sebagai suatu cara untuk memberikan ketentuan hokum yang timbul karena tuntutan kepentingan dalam muamalah ijtihad disini mempunyai objek dan metode – metode tertentu.
Objek utama yang akan di bahas dalam ushul fiqih adalah Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Untuk memahami teks-teks atau sumber berbahasa, para ulama akan menyusun semacam semantic yang akan digunakan praktik penalaran fiqih, hal ini adalah metode dari Istinbath.
Oleh karena itu di dalam makalah ini akan dijelaskan beberapa metode-metode Ijtihad.


 
BAB II
PEMBAHASAN
METODE-METODE IJTIHAD

A.      AL-QIYAS
1.      Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya. Ulama ushul fiqh memberikan definisi yang berbeda-beda bergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan qiyas dalam istinbath hukum. Dalam hal ini, mereka terbagi dalam dua golongan berikut ini:
Golongan pertama menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia, yakni pandangan mujtahid. Sebaliknya, menurut golongan kedua, qiyas merupakan ciptaan syari’, yakni merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan hujjah ilahiyah yang dibuat Syari’ sebagai alat untuk mengetahui hukum. Qiyas itu tetap ada, baik dirancang oleh para mujtahid ataupun tidak. (Abdul Hakim, 1986:22-24)[1]
Salah satu definisi qiyas adalah: “Mempersamakan hukum sesuatu kasus yang tidak dinashkan dengan hukum kasus lain yang dinashkan karena adanya persamaan illat hukumnya”.
2.      Rukun-rukun qiyas
  •   Ashal yaitu sesuatu yang di-nash-kan hukumnya yang menjadi tempat mengqiyaskan, dalam istilah Ushul Fiqh disebut Al-Ashlu atau al-maqis alih atau al-musyabah bihi.
Ashal ini harus berupa nash, yaitu Al-Qur’an, Al-Sunnah atau ijma. Di samping itu ashal ini juga harus mengandung illat hukum.
  •    Cabang, yaitu sesuatu yang tidak di-nash-kan hukumnya yaitu yang diqiyaskan. Dalam Ushul Fiqh disebut Al-fa’ru, al-maqis atau al-musyabah. Untuk cabang ini harus memenuhi syarat:
a.       Cabang tidak mempunyai hukum yang tersendiri.
b.      Illat hukum yang ada pada cabang harus sama dengan yang ada pada ashal.
c.       Hukum cabang sama dengan hukum ashal. 
 
  • dihukumi seperti hukum yang terdapat pada nash pertama, dan hukum tersebut merupakan ketetapan menurut Hukum ashal yaitu : Hukum syara yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi hukum pada cabang.
Untuk hukum ashal harus dipenuhi syarat-syarat:
a.       Hukum ashal harus merupakan hukum yang amaliah.
b.      Hukum ashal harus ma’qul al-ma’na, artinya pensyariatannya harus rasional.
c.       Hukum ashal bukan hukum yang khusus. Hukum yang khusus seperti dilarang menikahi bekas istri Nabi.
d.      Hukum ashal masih tetap berlaku. Apabila hukum ashal tidak berlaku lgi misalnya sudh dimansukh, maka tidak bisa dijadikan hukum ashal.
  •   Illat hukum yaitu: Suatu sifat yang nyata dan tertentu yang berkaitan atau munasabah dengan ada atau tidak adanya hukum. Illathukum ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.       illat itu harus merupakan sifat yang nyata, artinya dapat diindrai: Tanpa diketahui dengan jelas adanya illat, kita tidak dapat mengqiyaskan. Seperti misalnya memabbukkan dapat diindrai adanya pada khamar.
b.      Illat harus merupakan sifat yang tegas dan tertentu dalam arti dapat dipastikan wujudnya pada cabang.
c.       Illat hukum mempunyai kaitan dengan hikmah hukum dalam arti illattadi merupakan penerapan hukum untuk mencapai maqasidu syari’ah. Seperti memabukkan ada kaitannya dengan keharaman khamar, keharaman tadi hikmahnya dalam rangka memelihara aqal/hifdzu al-Aql.
d.      Illat bukan hanya sifat yang terdapat pada ashal, sebab apabila sifat itu hanya terbatas pada ashal tidak mungkin dianalogikan. Seperti kekhususan-kekhususan  Rasulullah tidak bisa diqiyaskan kepada orang lain.
e.       Illat tidak berlawanan dengan nash, apabila berlawanan nash-lah yang didahulukan.
1.      Kehujjahan Al-Qiyas
Jumhur ulama berpendapat bahwa qiyas adalah hujjah syar’iyyah terhadap hukum-hukum syara’ tentang tindakan manusia. Al-Qiyas menempati urutan keempat di antara hujjah syar’iyyah yang ada dengan catatan, jika tidak dijumpai hukum atas kejadian itu berdasarkan nash atau ijma’. Di samping itu harus ada kesamaan illat antara satu peristiwa atau kejadian dengan kejadian yang ada nashnya. Karenanya, kejadian pertama (yang tidak ada nash) dikiaskan dengan kejadian kedua yang ada nashnya.kemudian syara’.[1]
Dalam beberapa keadaan terjadi, dua kubu dalam penentuan hukum, yang berbeda dalam metode untuk mencapai ketetapan hukum tersebut. Orang-orang yang menganut adanya qiyas menetapkan hukum dengan qiyas. Sedangkan mereka yang tidak mengakui adanya qiyas ternyata menggunakan ketetapan hukum yang sama, tetapi dengan metode yang berbeda.
Ibnu Hazm berkata,” Mereka telah berhujjah dengan Firman Allah SWT:
tûïÏ%©!$#urtbqãBötƒÏM»oY|ÁósßJø9$#§NèOóOs9(#qè?ù'tƒÏpyèt/ör'Î/uä!#ypkà­óOèdrßÎ=ô_$$sùtûüÏZ»uKrOZot$ù#y_Ÿwur(#qè=t7ø)s?öNçlm;¸oy»pky­#Yt/r&4y7Í´¯»s9'ré&urãNèdtbqà)Å¡»xÿø9$#ÇÍÈ
“dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik”. (QS. An-Nur : 4)
Nash tersebut menerangkan tentang hukuman dera bagi mereka yang menuduh zina kepada wanita-wanita yang sudah bekeluarga. Dan hukuman tersebut diberikan juga kepada orang yang menuduh laki-laki berzina. Metode seperti itu adalah qiyas.
Abu Muhammad berkata, “Kami mewajibkan untuk penuduh laki-laki berzina sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunah. Jika tidak terdapat nash yang jelas, maka kami tidak menggunakan metode qiyas. Seandainya kami menggunakan metode qiyas-pun maka hasilnya tidak sama dengan mereka. Dan di bawah ini kami terangkan bagaimana metode kami:
Firman Allah SWT. Dalam surah An-nur Ayat 4 tersebut adalah umum. Tidak boleh ditakhsish kecuali harus dengan nash atau ijma’. Mungkin maksud Allah adalah wanita-wanita yang sudah menikah atau laki-laki yang sudah menikah. Hal seperti itu tidaklah termasuk munkar dalam bahasa dimana Al-Qur’an diturunkan, Allah berfirman dalam surah An-Naba ayuat 14:
$uZø9tRr&urz`ÏBÏNºuŽÅÇ÷èßJø9$#[ä!$tB%[`$¯gwRÇÊÍÈ
14. dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah,
Yang dimaksud mu’shirat dalam ayat di atas adalah ashhab.
Maka maksud Al-Muhsonat dalam surah An-Nur tersebut adalah furuj-furuj yang sudah menikah. Padahal kamu semua mengartikan sebagai wanita yang sudah menikah. Dan kami memperkuat pendapat tersebut dengan dalil yang jelas.
Sesungguhnya furuj itu lebih umum daripada wanita. Dan dimaklumi bahwa furuj adalah alat penghubung antara seorang laki-laki dengan perempuan, dengan menjelaskan firman Allah SWT:
tûïÏ%©!$#uröNèdöNÎgÅ_rãàÿÏ9tbqÝàÏÿ»ymÇÎÈžwÎ)#n?tãöNÎgÅ_ºurør&÷rr&$tBôMs3n=tBöNåkß]»yJ÷ƒr&öNåk¨XÎ*sùçŽöxîšúüÏBqè=tBÇÏÈ
5. dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
6. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki[994]; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.
Pada ayat lain Allah berfirman:
 

5. dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
6. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki[994]; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.
Pada ayat lain Allah berfirman:
@è%urÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9z`ôÒàÒøótƒô`ÏB£`Ïd̍»|Áö/r&z`ôàxÿøtsur£`ßgy_rãèùŸwuršúïÏö7ャ`ßgtFt^ƒÎžwÎ)$tBtygsß$yg÷YÏB(ÇÌÊÈ ......
31. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, .....(QS. An-Nur: 31)
Dengan ayat-ayat di atas sahlah bahwa ayat tersebut sebagai perintah untuk mendera laki-laki yang mukhsan dengan dali-dalil Al-Qur’an.
Dengan demikian, maka dapatlah dilihat bahwa hukuman mendera untuk orang yang menuduh berzina kepada yang sudah menikah adalah melalui dua metode yang berbeda.[1]

A.       ISTIHSAN
1.      Pengertian Istihsan
Ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang menjelaskan metode–metode yang digunakan oleh para Imam Mujtahid dalam mereka mengistibathkan dan mempelajari hukum–hukum agama dari nas-nas dengan mengeluarkan `illat-`illat yang ditegakkan hukum atasnya dan menyentuh maslahat–maslahat yang dikehendaki oleh syarak dan diisyaratkan oleh al–Qur`an serta dijelaskan atau ditunjukkan oleh sunnah Nabi. Dengan kata lain, Ilmu Ushul Fiqh adalah kumpulan kaidah–kaidah yang menjelaskan tentang metode–metode mengeluarkan hukum dari sumber–sumber hukum, baik metode itu bersifat lafzhi–seperti mempelajari petunjuk–petunjuk lafazh-lafazh syarak (dilalat al-alfazh al-syar`iyyat) kepada pengertian-pengertiannya, metode mengistibathkankan hukum-hukum dari petunjuk-petunjuk lafazh-lafazh itu, dan cara mengkompromikan dilalat al-afazh ketika bertentangan pada lahirnya atau berbeda masanya–maupun bersifat maknawi seperti mengeluarkan `illat-`illat dari nas-nas dan menggeneralisasinya. [2] Istihsan menurut bahasa berarti ‘’menganggap baik’’. [3] Menurut istilah Ulama Ushul ialah berpindahnya orang Mujtahid dari tuntutan Qiyas Jali (Qiyas nyata) kepada Qiyas Khafi (Qiyas samar) atau dari hukum Kulli (umum) kepada hukum pengecualian, dan dimenangkan baginya perpindahan ini. Jadi apabila terjadi sesuatu kejadian dan tidak terdapat nash mengenai hukumnya, maka untuk membicarakan hal itu ada dua segi yang bertentangan, yaitu:
Pertama      :    Segi nyata yang menghendaki suatu hukum.
Kedua         :    Segi tersembunyi yang menghendaki hukum lain.
Dan pada mujtahid sendiri sudah terdapat dalil yang memenagnkan segi pandangan secara tersembunyi, maka perpindahan dari segi pandangan yang nyata inilah yang menurut Syara disebut Al-Istihsan.Demikian juga apabila hukum itu kulli pengecualian juz`iyah (bagian) dari hukum kulli ini, dan memberi ketepatan kepada juz`iyah dengan hukum lain, maka menurut syara ini juga disebut al-Istihsan.[4]
Istihsan menurut istilah adalah mengecualikan hukum suatu peristiwa terhadap hukum peristiwa lain yang sejenis, karena ada alasan yang kuat dari pengecualian tersebut. Dari pengertian ini dapat kita pahami bahwa istihsan merupakan kebalikan dari qiyas. Pengertian qiyas adalah
mempersamakan hukum suatu peristiwa dengan peristiwa lain, sedangkan istihsan adalah meninggalkan ketetapan hukum suatu peristiwa yang ada.[1]
Macam – macam Istihsan
Dari definisi yang dikemukakan di atas terlihat bahwa Ibn al-Arabi memberikan pengertian yang lebih luas terhadap istihsan dengan memasukkan ke dalamnya berpegang kepada dalil apapun yang bertentangan dengan nas umum atau kias yang umum. Sesuai dengan pengertian itu ia membagi istihsan kepada empat macam, yaitu:
a.                   Istihsan dengan `urf
Imam Malik mengatakan bahwa mazhabnya meninggalkan dalil umum karena ada `urf. [2]Ia menolak sumpah karena `urf. Kalau seseorang bersumpah tidak akan memasuki rumah, maka kias lafzhi, menurut bahasa, memasuki setiap tempat yang bernama rumah seperti Mesjid berarti melanggar sumpah, akan tetapi Malik melakukan Istihsan  dengan mentkhsishkan umum lafazh dengan `urf dan kebiasaan dalam praktek. Menurut Malik, masuk Mesjid tidaklah melanggar sumpah karena mesjid tidak dinamakan dalam `urf pembicaraan.
b.             Istihsan dengan maslahat
Adapun meninggalkan dalil umum karena maslahat dicontohkan dengan jaminan buruh yang berserikat.Buruh yang berserikat itu pada asalnya orang yang terpercaya. Dan orang yang terpercaya tidak perlu dijamin kecuali karena telah tampak kecurangannya, akan tetapi Malik menetapkan hukum lain  dengan istihsan dan meninggalkan kaidah asal ini karena kurangnya tanggung jawab dan seringnya terjadi keterlaluan dan khianat pada para buruh. Kebiasaanlah yang menyebabkan Malik menempatkan buruh pada posisi penggugat yang tidak diterima gugatannya --- tentang adanya suatu kerusakan – tanpa keterangan, padahal pada asalnya pekerja adalah terdakwa (tergugat) karena lahir nas menunjukkan demikian.dan perkataannya tentang rusak atau hilangnya suatu barang dapat diterima tanpa perlu pembuktian.
Dengan demikian Malik mengharuskan adanya jaminan bagi pekerja yang berserikat telah mengecualikan kaidah asal – dalam masalah itu – dengan maslahat.


c.                   Istihsan dengan ijmak
Adapun meninggalkan kaidah umum atau dalil umum karena ada ijmak, dicontohkan dengan kewajiban orang yang memotong akar keledai tunggangan (baghat  al-qadi) untuk membayar seluruh harga kedelai itu. Hukum itu dianggap pengecualian dari kaidah umum, karena kaidah umum menetapkan kewajiban membayar kerugian sebesar harga yang berkurang dari benda yang rusak yang disebabkan oleh perbuatannya.Kalau seseorang memukul binatang sampai pincang, kaidah umum hanya menetapkan kewajiban membayar suatu harga yang berkurang akibat pukulannya itu. Segi istihsan yang sandarannya ijmak – dari ketentuan yang mewajibkan atas orang yang memotong ekor keledai tunggangan untuk membayar seluruh harga keledai itu – adalah bahwa keledai tunggangan itu digunakan untuk kendaraan, bukan untuk kepetingan lain. Maka dengan terpotongnya ekor keledai itu hilanglah seluruh kemaslahatannya ditinjau dari segi penggunaan khusus ini, karena bila dihubungkan dengan penggunaannya, keledai itu seperti tidak ada sama sekali; terpotongnya ekor keledai itu seperti hilangnya keledai itu sendiri. Dan pembayaran kerugian merupakan satu-satunya pilihan, karena terpotongnya ekor keledai tersebut telah mengakibatkan pemiliknya teraniaya.Kemalaratan yang menimpa pemilik keledai karena terpotongnya ekor keledainya itu harus dibayar dengan harga keledai seluruhnya.
d.             Istihsan dengan kaidah raf al-harj wa al-masyaqqat.
Kaidah raf al-harj wa al-masyaqqat (menolak kesukaran dan kesulitan) merupakan kaidah yang qath`i dalam agama. Contohnya adalah meninggalkan kehendak dalil pada masalah kecil untuk menghilangkan kesukaran dan memberikan kelapangan kepada masyarakat.Golongan Malikiyah membolehkan pemakaian kamar mandi umum tanpa ketentuan jumlah sewa, lamanya masa pemakaian, dan jumlah air yang digunakan, padahal pada asalnya yang demikian dilarang, sebab mengandung al-gharar (ketidakpastian).Dan ketidakpastian biasanya dapat menimbulkan pertentangan.Akan tetapi mereka mengatakan, semua itu jika tidak ditentukan dengan `urf akan mengakibatkan kemudaratan.Padahal ada kaidah fikih yang mengatakan tidak mungkin menghilangkan al-gharar secara keseluruhan, karena berarti menyempitkan lapangan muamalat, yang mungkin dituntut adalah penyempurnaan dan menjauhkan hal–hal yang dapat menimbulkan pertentangan, dan hal itu berarti pelengkap (tahsiniyyat).Apabila mengutamakan pelengkap itu dapat membawa kepada batalnya kemaslahatan yang pokok (daruriyyat) maka pelengkapi itu harus digugurkan seluruhnya.
Untuk terlaksananya hal yang lebih penting maka haruslah ditolerir beberapa macam al-gharar yang biasanya tidak merusak jual beli, karena kalau mukalaf dituntut melepaskan diri dari al-gharar, hal itu akan memberatkannya, apabila al-gharar sudah jarang terjadi dan masalah pun telah mudah serta tidak lagi terjadi pertentangan, dan al-hajat (kebutuhan) sudah sampai pada tingkat menyentuh toleransi maka baru pada saat itulah al-gharar harus dihilangkan. Di antara akad yang menyangkut masalah ini adalah masalah penentuan pemakaian air dan lamanya waktu yang dipakai di kamar mandi umum.
1.             Nash para Fuqoha Hanafiyah bahwa seseorang yang mewakafkan hartanya (al-Waqif), apabila telah mewakafkan sebidang tanah pertanian, maka masuklah hak pengairan (irigasi), minum, jalan, dalam wakaf tersebut, dengan sangsi ringan tanpa menyebutkannya, berdasarkan istihsan. Menurut Qiyas, semua itu tidak mendapat perhitungan kecuali bila terdapat nash atas semua itu, seperti jual-beli. Sedangkan jalan istihsan yaitu bahwa yang dimaksud dengan wakaf ialah memanfaatkan harta yang diwakafkankepada mereka, dan tidaklah bisa dikatakan mengambil manfaat tanah pertanian itu, kecuali dengan minum, pengairan dan jalan, maka termasuklah semua itu dalam wakaf sekalipun tanpa menyebutkannya, karena hal yang dimaksud itu tidak akan dapat terwujud, kecuali dengan semua itu seperti halnya sewa-menyewa.
2.             Nash para Fuqoha Hanafiyah bahwa jika terjadi perselisihan di antara penjual dan pembeli dalam kadar harga sebelum menerima benda yang dijual, kemudian penjual mendakwa bahwa harga adalah 100 pound, sedang pembeli mendakwa 90 pound, maka keduanya harus bersumpah, berdasarkan Istihsan. Menurut Qiyas, penjual tidak perlu disumpah, karena dia mendakwa tambahan, yaitu 10 pound. Sedang pembeli mengingkarinya, padahal saksi nyata itu wajib atas pendakwa, dan sumpah itu wajib atas orang yang mengingkarinya, jadi tidak ada sumpah bagi penjual. Jalan Istihsan yaitu bahwa penjual adalah pendakwa, menurut kenyataan bila dihubungkan dengan tambahan, tetapi adalah yang mengingkari hak pembeli dalam menyerahkan barang yang dijual setelah dibayar 90 pound. Pembeli secara nyata adalah yang mengingkari tambahan yang didakwakan oleh penjual yaitu 10 pound, tetapi dia adalah pendakwa hak penyerahan penjual kepada barang yang dijual setelah dibayar 90 pound. Jadi masing-masing (penjual dan pembeli)  adalah pendakwa dari satu segi dan adalah yang ingkar dari segi lain, maka keduanya harus disumpah.
Jadi Qiyas nyata ialah menyesuaikan kejadian ini dengan setiap kejadian di antara pendakwa dan orang yang ingkar, maka saksi yang nyata itu wajib atas orang yang mendakwa, sedang sumpah wajib atas orang yang ingkar.
Sedang Qiyas tersembunyi ialah menyeseaikan kejadian tersebut dengan setiap kejadian di antara dua pihak yang saling mendakwa masing – masing.Di saat yang satu dianggap sebagai pendakwa (untuk satu pihak) dan orang yang ingkar (dipihak lainnya) maka kedaunya harus disumpah.
3.             Nash para Fuqoha Hanafiyah, bahwa sisa yang tinggal dari burung buas seperti burung garuda, burung gagak, burung elang, dan burung rajawali (elang besar) adalah suci menurut Istihsan dan najis menurut Qiyas.
Jalan Qiyas yaitu bahwa sisa yang tetap tinggal dari binatang yang diharamkan dagingnya ialah seperti binatang buas, misal; Asad (sebangsa macan tutul), Namr (harimau), siba` (binatang buas) dan serigala Dzib (anjing hutan).Hukum sisa yang tetap tinggal pada binatang itu mengikuti hukum dagingnya.
Jalan Istihsan yaitu bahwa burung buas itu sekalipun diharamkan dagingnya, akan tetapi bahwa air ludah (air liur) yang keluar dari dagingnya dan tidak bercampur dengan sisanya yang tetap tinggal, adalah tidak haram, karena ia meminum dengan paruhnya, padahal paruhnya adalah tulang yang suci, adapun binatang buas, maka ia meminum dengan lidahnya yang bercampur dengan air liurnya, maka oleh karena itu najislah sisanya.
Kesamaran Dalil Ulama yang Tidak Menggunakan Hujjah al-Istihsan.
Terdapat sebuah kelompok mujtahid yang menentang Istihsan dan menganggapnya sebagai istinbath hukum syara dengan kemauan hawa nafsu dan rasa enak. Pimpinan kelompok ini adalah Imam Syafi`i, hal mana telah dinukil daripadanya, bahwa ia berkata: ‘’Siapa melakukan Istihsan berarti ia telah membentuk syariat’’, artinya orang tersebut memulai hukum Syariat dari dirinya.


 

A.     Al-Mashlahah Al-Mursalah
1.         Pengertian Al-Mashlahah Al-Mursalah
Dari segi bahasa, kata al-maslahah adalah seperti lafazhal-manfa’at, baik artinya ataupun wajannya (timbangan kata), yaitu kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-Shalah, seperti halnya lafazh al-manfa’at sama artinya dengan al-naf’u.
Bisa juga dikatakan bahwa al-mashlahah itu merupakan bentuk tunggal (mufrad) dari kata al-mashalih. Pengarang Kamus Lisan Al-‘Arab menjelaskan dua arti, yaitu al-mashlahah yang berarti al-shalah dan al-mashlahah yang berarti bentuk tunggal dari al-mashalih. Semuanya mengandung arti adanya manfaat baik secara asal maupun melalui suatu proses, seperti menghasilkan kenikmatan dan faedah, ataupun pencegahan dan penjagaan, seperti menjauhi kemadaratan dan penyakit. Semua itu bisa dikatakan mashlahah.[1]
Al-Mashalatu’l-Mursalah (Maslahah mursalah) ialah mutlak. Menurut istilah Ahli Ushul, maslahah mursalah diartikan kemaslahatan yang tidak disyari’atkan oleh syari’ dalam wujud hukum, dalam rangka menciptakan kemaslahatan, disamping tidak terdapat dalil yang benar atau menyalahkan.[2] Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan ketentuan illat yang keluar dari syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadaratan atau untuk menyatakan suatu manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan al-Mashlahah al-Mursalah. [3]
. Imam Al-Ghazali, mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.”
Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut, menurut al-Ghazali, ada lima bentuk yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’ di atas, maka dinamakan maslahah. Di samping itu, upaya untuk menolak segala bentuk kemudaratan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut, juga dinamakan maslahah.
Dengan demikian, al-Maslahah al-Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya.Sedangkan alasan dikatakan al-mursalah, karena syara’ memutlakannya bahwa di dalamnya tidak terdapat kaidah syara’ menjadi penguatnya ataupun pembatalnya.[4]
Misalnya, kemashlahatan yang diambil oleh para sahabat dalam mensyari’atkannya adanya penjara (bui), dicetaknya mata uang, penetapan hak milik pertanian, dan penentuan pajak penghasilan. Serta banyak hal lagi mashlahah yang diadakan berasarkan kebutuhan, keadaan dan kebaikan yang belum ada syar’at hukumnya, di samping tidak adanya hukum syara’ yang membenarkan atau menyalahkan.[5]
Tidak juga dikatakan al-mashlahah bila ada dua kemaslahatan yang saling bertentangan dan masing-masing mempunyai penguat atau pembantal. Hal tersebut tidak termasuk dalam kategori jauh dari penguat dan pembatal.
Selain itu, juga tidak termasuk al-mashlahah al-mursalah segala kemashlahatan yang bertentangan dengan nash atau qiyas yang shahih, baik pertentangannya secara umum maupun mutlak. karena semua pertentangan terhadap keduanya terdapat penguat untuk membatalkannya, maka tidak sah untuk dikatakan mursal.
Namun demikian, al-mashlahah al-mursalah itu jangan dipahami tidak memiliki dalil untuk dijadikan sandarannya atau jauh dari dalil-dalil pembatalnya. Tapi harus dipahami bahwa al-mashlahah al-mursalah berdasarkan pada dalil yang terdapat pada syara’, namun tidak dikhususkan terhadap al-mashlahah al-mursalah ini. Bisa dikatakan melalui metode yang jauh, seperti penjagaan terhadap roh, akal dan keturunan.[6]
Contoh Maslahah Mursalah
a.       Munasib (kemaslahatan) yang diakui
Dalam Islam terdapat hukum-hukum yang ditetapkan untuk melindungi agama Islam, jiwa manusia, akal manusia, keturunan manusia dan harta kekayaan manusia.
Misalnya jihad dan hukuman mati atas orang yang murtad diterapkan untuk melindungi agama Islam. Qishash ditetapkan untuk melndungi jiwa manusia dari upaya menyakiti dan membunuhnya. Diharamkannya meminum minuman untuk melindungi akal manusia dari mabuk. Sanksi potong tangan atas pencuri, begitu juga ganti rugi atas harta yang diambil dengan cara yang tidak sah untuk melindungi harta manusia dari kesewenang-wenangan orang lain. Diharamkannya zina untuk melindungi keturunan manusia. Diizinkan tidak puasa Ramadhan bagi orang musafir dan sakit untuk memberikan kemudahan bagi orang yang musafir dalam menjalankan ibadah puasa.
Semua ulama sepakat berpendapat bahwa semua tujuan-tujuan hukum tersebut, yaitu melindungi agama Islam, jiwa manusia, akal manusia, keturunan manusia dan harta kekayaan manusia, dapat dijadikan landasan penetapan hukum, karena penelitian membuktikan bahwa motivasi penetapan hukum-hukum Syariat Islam adalah untuk merealisasikan kemaslahatan bagi manusia atau menghindarkan kesulitan bagi manusia.
b.      Munasib (kemaslahatan) yang tidak diakui
Rasulullah Muhammad saw menjelaskan sanksi atas orang yang senggama ketika melakukan puasa Ramadhan ada tiga, yaitu pertama, memerdekakan budak, jika tidak mampu harus puasa dua bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu juga hendaklah memberi makan 60 orang miskin.
Bolehkan sanksi tersebut diatur sedemikian rupa untuk disesuaikan dengan pelanggarnya? Contohnya jika senggama tersebut dilakukan orang kaya tentu ia dapat membayar sanksi pertama yaitu pembebasan budak dengan mudah, sehingga ia dapat melakukan senggama beberapa kali. Bolehkah sanksinya ditukar dengan sanksi yang lebih berat yaitu puasa dua bulan berturut-turut demi mewujudkan kemaslahatan yaitu dapat mencegahnya melakukannya lagi?
Para ahli fiqh tidak memperbolehkannya, karena terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala (Pembuat hukum Islam) tidak mengakui kemaslahatan tersebut, yaitu teks hadis Rasulullah saw di atas telah menentukan urutan sanksinya, yaitu pertama ialah membebaskan budak, meskipun puasa dua bulan mungkin akan lebih mampu mencegah melakukannya karena jauh lebih berat bagi pelanggarnya.
c.       Munasib (kemaslahatan) yang tidak diakui dan tidak ditolak
Ada pula munasib yang tidak ditemukan dalil yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala (Pembuat hukum) mengakuinya atau menolaknya, baik dalil berupa nash (teks) maupun ijma’ (konsensus) fuqaha’. Artinya tidak terdapat dalam Syariat Islam sesuatu yang menyetujuinya maupun yang menolaknya.
Bagian yang ketiga inilah yang menjadi bidang perbedaan pendapat di kalangan fuqaha’ tentang apakah boleh menjadikannya sebagai ta’lil (faktor) penetapan hukum.
Mazhab Maliki menyebut bagian ketiga ini dengan مصالح مرسلة (mashalih mursalah). Imam Haramain dari pendukung mazhab Syafii menyebutnya استدلال (Istidlal). Gazali dari pendukung mazhab Syafii juga menyebutnya استصلاح (Istishlah). Demikianlah beberapa nama yang diberikan para faqih, namun hakikatnya satu yaitu munasabah (kemaslahatan) yang tidak ditemukan dalil yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala (Pembuat hukum) mengakuinya atau menolaknya.[7]

2.        Kehujjahan Al-Maslahah Al-Mursalah
 Adapun terhadap kehujjahan maslahah al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’, sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat.
Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil disyaratkan maslahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi suatu hukum.
Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menerima maslahah al-mursalah sebagi dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya. Untuk bisa menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, ulama Malikiyyah dan Hanabilah mensyaratkan tiga syarat, yaitu:
a.       Kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis kemaslahatan yang didukung nash secara umum.
b.      Kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang ditetapkan melalui maslahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari atau menolak kemudaratan.
c.       Kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu.
Ulama golongan Syafi’iyyah, pada dasarnya, juga menjadikan maslahah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, Imam Syafi’i, memasukkannya ke dalam qiyas. Ada beberapa syarat yang dikemukakan al-Ghazali terhadap kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam mengistinbatkan hukum, yaitu:
    a. Maslahah itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara’
    b. Maslahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’
    c. Maslahah itu termasuk ke dalam kategori maslahah yang dharuri, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.
Dengan demikian, Jumhur Ulama sebenarnya menerima maslahah al-mursalah sebagai salah satu metode dalam mengistinbatkan hukum islam.Alasan Jumhur Ulama dalam menetapkan maslahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum, antara lain adalah:
a.       Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi manusia.
b.      Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syari’at islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.
c.       Jumhur Ulama juga beralasan dengan merujuk kepada beberapa perbuatan sahabat, seperti Umar ibn al-Khathab tidak memberi bagian zakat kepada para muallaf (orang yang baru masuk islam), karena menurut ‘Umar, kemaslahatan orang banyak menuntut untuk hal itu.

3.        Syarat-Syarat Untuk Bisa Dipakai Sebagai Hujjah
a.       Harus benar-benar membuahkan mashlahah atau tidak didasarkan mengada-ada. Maksudnya ialah agar bisa diwujudkan pembentukkan hukum tentang masalah atau peristiwa yang melahirkan kemanfaatan dan menolak kemadharatan.
b.      Mashlahah itu sifatnya umum, bukan bersifat perorangan. Maksudnya ialah bahwa dalam kaitannya dengan pembentukkan hukum atas suatu kejadian atau masalah dapat melahirkan kemanfaatan bagi kebanyakan umat manusia yang benar-benar dapat terwujud atau bisa kemadharatan, atau tidak mendatangkan kemanfaatan bagi seorang atau beberapa orang saja.
c.       Pembentuk hukum dengan mengambil kemashlahatan ini tidak berlawanan dengan kata hukum atau dasar ketetapan nash dan ijma’. Karena itu tuntutan kemashlahatan untuk mempersamakan anak laki-laki dan wanita dalam hal pembagian harta waris, merupakan mashlahah yang tidak bisa dibenarkan. Sebab mashlahat yang demikian itu adalah batal.[8]
4.        Keraguan orang yang tidak menggunakan Al-Mashlahat Al-Mursalah sebagai Hujjah. Alasan mereka ialah:
a.       Syari’atlah yang akan memelihara kemashlahatan umat manusia dengan nash-nash dan petunjuk kias. Sebab, syara’ tidak akan berlaku menyia-nyiakan manusia. Terbukanya pintu nafsu
b.      Pembentukan hukum bedasarkan keharusan adanya mashlahah menyebabkan terbukanya pintu nafsu antara para pemimpin penguasa dan ulama fatwa (mufti). Dengan demikian, sebagian mereka terkadang kalah dengan hawa nafsu dan keinginannya. Sebagai akibatnya, mereka bisa menghalalkan mafsadah untuk kemashlahatan. Diperkirakan, yang berbeda pendapat dan berbeda kondisi lingkungan. Jadi, dibolehkannya membentuk hukum dengan dasar kemashlahatan secara mutlak berarti membuka pintu kejahatan.[9]

B.       AL-ISTISHHAB
1.      Pengertian  Istishhab
Istishhab secara harfiyah adalah mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan menurut Ulama Ushul adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai terhadap dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaanya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya.[10]
Dan apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum binatang, benda-benda, tumbuhan-tumbuhan, makanan dan minuman, atau suatu amal yang hukumnya tidak ditemukan dalam suatu dalil syara’ maka hukumnya adalah boleh. Kebolehan adalah pangkal (asal), meskipun tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas kebolehannya. Dengan demikian pangkal sesuatu itu adalah boleh.[11]
Asyaukani menta’rifkan Istishhab dengan: “Tetapnya sesuatu hukum selama tidak ada yang mengubahnya”.[12]
Jadi, hukum yang telah ditetapkan pada masa yang lalu terus berlaku sampai ada dalil lain yang merubah hukum tersebut. Atau sebaliknya apa yang tidak ditetapkan pada masa lalu, terus demikian keadaannya sampai ada dalil yang menetapkan hukumnya.
Contoh tentang Istishhab adalah sebagai berikut:
a.       Apabila telah jelas adanya pemilikan terhadap sesuatu harta karena adanya bukti terjadinya pemilikan seperti karena membeli, warisan, hibbah atau wasiat, maka pemilikan tadi terus berlangsung sehingga ada bukti-bukti lain yang menunjukkan perpindahan pemilikan pada orang lain.
b.      Orang yang hilang tetap dianggap hidup sebagai ada bukti atau tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa dia meninggal dunia.
c.       Seorang yang telah menikah terus dianggap ada dalam hubungan suami-istri sampai ada bukti lain bahwa mereka telah bercerai, misalnya dengan talaq.
2.      Pembagian Istishhab
1)      Istishhab al-Bar’at al-Ashliyyah: Menurut Ibn al-Qayyim disebut Bar’at al-Adam al-Ashliyyah. Seperti terlepasnya tanggung jawab dari segala taklif sampai ada bukti yang menetapkan takliefnya. Seperti anak kecil sampai dengan datangnya balig, tidak ada kewajiban dan hak antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bersifat pernikahan sampai adanya akad nikah.
2)      Istishhab yang ditujukan oleh syara atau akal, seperti seorang harus tetap bertanggung jawab terhadap utang sampai ada bukti dia telah melunasinya.
3)      Istishhab hukum seperti sesuatu telah ditetapkan dengan hukum mubah atau haram,m maka hukum ini terus berlangsungsampai ada dalil yang mengharamkan yang asalnya mubah atau membolehkan yang salnya haram. Dan yang asal dalam sesuatu (muamalah) adalah kebolehan.
Kebolehan ini didasarkan kepada firman Allah:
uqèdÏ%©!$#šYn=y{Nä3s9$¨BÎûÇÚöF{$#$YèŠÏJy_
Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”. (al-Baqarah ayat 29)

t¤yur/ä3s9$¨BÎûÏNºuq»yJ¡¡9$#$tBurÎûÇÚöF{$#$YèÏHsdçm÷ZÏiB
“Dan ia telah mudahkan bagimu apa-apa yang di langitdan apa-apa yang di bumi semuanya”. (al-Jatsiyah ayat 13)
4)      Istishhab Washaf.
Seperti keadaan hidupnya seseorang dinisbatkan kepada orang yang hilang. Prof. Muhammad Abu Zahrah mengatakan: bahwa setiap Fuqaha menggunakan Istishhab dari macam a sampai c, sedangkan mereka berbeda pendapat, ulama-ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menggunakan Istishhab washaf secara mutlak dalam artibisa menetapkan hak-hak yang telah ada pada waktu tertentu dan seterunya serta bisa pula menetapkan hak-hak yang baru, sedangkan ulama Malikiyah hanya menggunakan Istishhab washaf ini untuk hak-hak dan kewajiban yang telah ada, sedang untuk hak-hak yang baru mereka tidak mau memakainya.
Contohnya: apabila seseorang dalam keadaan hidup meninggalkan kampung halamannya, maka orang ini oleh semua mazhab dianggap tetap hidup sampai ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa dia sudah meninggal dunia, oleh karena itu, tetap istrinya ada dalam tanggung jawabnya dan pemilikannya terhadap sesuatu tidak berubah. Apabila kemudian orang tua dari orang yang hilang ini meninggal dunia, maka menurut Malikiyah dan Hanafiyah: qoyim yaitu orang yang mengurus harta si mafkud tidak bisa meminta bagiannya dipelihara sebagai amanat sehingga jelas ia telah meninggal, sebaliknya yaitu apabila ahli waris si mafkud minta dibagi harta si mafkud, maka hal ini ditolak berdasarkan istishhab yang digunakan oleh ulama-ulama Hanafiyah adalah li daf’ l li itsbtyaitu untuk menolak bukan untuk menetapkan.[13]
3.      Kehujjahan Istishhab
Istishhab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali bagi para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya. Ulama ushul barkata, “Sesungguhnya Istishhab adalah akhir tempat beredarnya fatwa.” Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam mengelola berbagai ketetapan untuk mereka.
Seorang manusia yang hidup tetap dihukumi atas hidupnya dan pengelolaan atas kehidupan ini diberikan kepadanya sampai terdapat dalil yang menunjukkan adanya keputusan tentang kematiannya.
Hukum telah berjalan menurut keadaan ini. Jadi, suatu kepemilikan misalnya, tetap menjadi milik siapa saja berdasarkan sebab beberapa kepemilikan. Maka kepemilikan itu dianggap ada sampai ada ketetapan yang menghilangkan kepemilikan tersebut.
Begitu juga kehalalan pernikahan bagi suami-istri sebab akad pernikahan dianggap ada sampai ada ketetapan yang menghapuskan kehalalan itu.
Istishhab juga telah dijadikan dasar bagi prinsip-prinsip syariat, antara lain sebagai berikut, “Asal sesuatu adalah ketetapan yang ada menurut keadaan semula sehingga terdapat suatu yang mengubahnya”. Sesuai dengan kaidah:
الأصل فى الأ شيا ءِ ا لإ با حة
Artinya:
“Asal segala sesuatu adalah kebolehan.”[14]













BAB III
PENUTUP

A.      Simpulan
Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya. Ulama ushul fiqh memberikan definisi yang berbeda-beda bergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan qiyas dalam istinbath hukum.
Istihsan menurut bahasa berarti ‘’menganggap baik’’. Menurut istilah Ulama Ushul ialah berpindahnya orang Mujtahid dari tuntutan Qiyas Jali (Qiyas nyata) kepada Qiyas Khafi (Qiyas samar) atau dari hukum Kulli (umum) kepada hukum pengecualian, dan dimenangkan baginya perpindahan ini.
Menurut istilah Ahli Ushul, maslahah mursalah diartikan kemaslahatan yang tidak disyari’atkan oleh syari’ dalam wujud hukum, dalam rangka menciptakan kemaslahatan, disamping tidak terdapat dalil yang benar atau menyalahkan.
Menurut Ulama Ushul, istishhab adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai terhadap dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaanya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya.









DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahhab Khallaf. 1979. Kaidah – Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul fiqh). Jakarta: Rajawali Pers.
Djazuli, H.A. 2006, Ilmu Fiqh, Jakarta: kencana
Iskandar, Usman. Pembaharuan Hukum Islam. 1994. Jakarta: Rajawali Pers.
Khalaf, Abdul Wahab. 1992. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Gema Risalah Press
Ngainum Naim. Sejarah Pemikiran Hukum Islam. 2009. Yogyakarta: Teras.
Syafi’e, Rachmat . 2010. Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN, PTAIS. Bandung: Pustaka Setia



[1]Rachmat Syafe’i, hal.117.
[2]Abdul Wahab Khalaf, Op.cit, 142.
[3]Rachmat Syafe’i, Op.cit
[5]Abdul Wahab Khalaf, op.cit, hal. 142
[6]Rahmat Syafe’i. Op.cit., hal.121.
[8]Abdul Wahab Khalaf, op.cit, hal.145
[9]Ibid, hal.146
[10]Racmat Syafi’e, Op.cit., hal.125
[11]Ibid., hal.125
[12]Asyaukani,Op Cit.,hal.237.
[13]Prof. H.A. Djazuli,2006, Ilmu Fiqh, Jakarta: kencana
[14]Rachmat Syafi’e. Op.cit. hal.91.




[1]Ngainum Naim, Sejarah Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta; TERAS, 2009.
[2]`urf ialah sesuatu yang telah berkembang dan terkenal dalam masyarakat tidak dipandang jijik dan buruk. Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, selanjutnya disebut falsafah, Cet. III, Bulan Bintang, Jakarta, 1988, Hal. 87


[1]Rachmat Syafe’i, Op.cit., hal 91.
[2]Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, selanjutnya disebut Ushul, Dar al-Fikr al-Arabi, hal. 3
[3]Abdul Aziz Ibn Abdurrahman Ibn Ali al-Rabi`ah, Adillat al-Tasyri` al-Mukhtalaf Fi al-Ihtijaj Biha, Mu`assat al-Risalat, Cet. I, 1339 H, Hal. 155
[4]Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh), Yogyakarta; Rajawali Pers, 1985.



[1]Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Gema Risalah Press, 1992, hal.95.



[1] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN, PTAIS, Bandung, Pustaka Setia, 2010, hal.86

1 komentar:

  1. makasih min atas postingannya. makalah ini sangat membantu aku....

    BalasHapus