BAB I
PENDAHULUAN
“Ijtihad menurut istilah ulama ushul
fiqih mencurahkan segala kesungguhan (tenaga dan pikiran) untuk menemukan hukum
syar’i dari dalil-dalil yang tafshi dari kaidah-kaidah hukum syara’
Objek ijtihad ialah setiap peristiwa
hukum, baik sudah ada nashnya yang bersifat zanni maupun belum ada nash-nya
sama sekali. Dalam pada itu ijtihad adalah dogma yang penting
sekali bagi pembinaan dan perkembangan hukum islam. Terbuka bebasnya ijtihad
dalam hukum islam, tidak berarti bahwa setiap orang boleh melakukan ijtihad,
melainkan hanya orang-orang yang telah memiliki syarat-syarat tertentu pula,
baik yang berhubungan dengan sikap ketika menghadapi nash-nash yang berlawanan.
Ijtihad adalah suatu jalan untuk mendapatkan
ketentuan-ketentuan hukum dalil-dalil ketentuan itu dan sebagai suatu cara
untuk memberikan ketentuan hokum yang timbul karena tuntutan kepentingan dalam
muamalah ijtihad disini mempunyai objek dan metode – metode tertentu.
Objek utama
yang akan di bahas dalam ushul fiqih adalah Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Untuk memahami teks-teks atau sumber berbahasa, para ulama akan menyusun
semacam semantic yang akan digunakan praktik penalaran fiqih, hal ini adalah
metode dari Istinbath.
Oleh karena
itu di dalam makalah ini akan dijelaskan beberapa metode-metode Ijtihad.
BAB
II
PEMBAHASAN
METODE-METODE
IJTIHAD
A.
AL-QIYAS
1. Pengertian
Qiyas
Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang
lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya. Ulama ushul fiqh memberikan
definisi yang berbeda-beda bergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan qiyas
dalam istinbath hukum. Dalam hal ini, mereka terbagi dalam dua golongan
berikut ini:
Golongan pertama menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia,
yakni pandangan mujtahid. Sebaliknya, menurut golongan kedua, qiyas
merupakan ciptaan syari’, yakni merupakan dalil hukum yang berdiri
sendiri atau merupakan hujjah ilahiyah yang dibuat Syari’ sebagai
alat untuk mengetahui hukum. Qiyas itu tetap ada, baik dirancang oleh para mujtahid
ataupun tidak. (Abdul Hakim, 1986:22-24)[1]
Salah
satu definisi qiyas adalah: “Mempersamakan hukum sesuatu kasus yang tidak
dinashkan dengan hukum kasus lain yang dinashkan karena adanya persamaan illat hukumnya”.
2. Rukun-rukun qiyas
- Ashal yaitu sesuatu yang di-nash-kan hukumnya yang menjadi tempat mengqiyaskan, dalam istilah Ushul Fiqh disebut Al-Ashlu atau al-maqis alih atau al-musyabah bihi.
Ashal
ini harus berupa nash, yaitu Al-Qur’an, Al-Sunnah atau ijma. Di samping itu
ashal ini juga harus mengandung illat
hukum.
- Cabang, yaitu sesuatu yang tidak di-nash-kan hukumnya yaitu yang diqiyaskan. Dalam Ushul Fiqh disebut Al-fa’ru, al-maqis atau al-musyabah. Untuk cabang ini harus memenuhi syarat:
a. Cabang tidak mempunyai hukum yang
tersendiri.
b. Illat
hukum yang ada pada cabang harus sama dengan yang ada pada ashal.
c. Hukum cabang sama dengan hukum ashal.
- dihukumi seperti hukum yang terdapat pada nash pertama, dan hukum tersebut merupakan ketetapan menurut Hukum ashal yaitu : Hukum syara yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi hukum pada cabang.
Untuk
hukum ashal harus dipenuhi syarat-syarat:
a. Hukum ashal harus merupakan hukum yang
amaliah.
b. Hukum ashal harus ma’qul al-ma’na,
artinya pensyariatannya harus rasional.
c. Hukum ashal bukan hukum yang khusus.
Hukum yang khusus seperti dilarang menikahi bekas istri Nabi.
d. Hukum ashal masih tetap berlaku. Apabila
hukum ashal tidak berlaku lgi misalnya sudh dimansukh, maka tidak bisa
dijadikan hukum ashal.
- Illat hukum yaitu: Suatu sifat yang nyata dan tertentu yang berkaitan atau munasabah dengan ada atau tidak adanya hukum. Illathukum ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. illat
itu harus merupakan sifat yang nyata, artinya dapat diindrai: Tanpa diketahui
dengan jelas adanya illat, kita tidak
dapat mengqiyaskan. Seperti misalnya memabbukkan dapat diindrai adanya pada
khamar.
b. Illat
harus merupakan sifat yang tegas dan tertentu dalam arti dapat dipastikan
wujudnya pada cabang.
c. Illat
hukum mempunyai kaitan dengan hikmah hukum dalam
arti illattadi merupakan penerapan
hukum untuk mencapai maqasidu syari’ah. Seperti memabukkan ada kaitannya dengan
keharaman khamar, keharaman tadi hikmahnya dalam rangka memelihara aqal/hifdzu
al-Aql.
d. Illat
bukan hanya sifat yang terdapat pada ashal, sebab
apabila sifat itu hanya terbatas pada ashal tidak mungkin dianalogikan. Seperti
kekhususan-kekhususan Rasulullah tidak
bisa diqiyaskan kepada orang lain.
e. Illat
tidak berlawanan dengan nash, apabila berlawanan nash-lah
yang didahulukan.
1.
Kehujjahan Al-Qiyas
Jumhur ulama berpendapat bahwa qiyas adalah hujjah
syar’iyyah terhadap hukum-hukum syara’ tentang tindakan manusia. Al-Qiyas
menempati urutan keempat di antara hujjah syar’iyyah yang ada dengan catatan,
jika tidak dijumpai hukum atas kejadian itu berdasarkan nash atau ijma’. Di
samping itu harus ada kesamaan illat antara satu peristiwa atau kejadian dengan
kejadian yang ada nashnya. Karenanya, kejadian pertama (yang tidak ada nash)
dikiaskan dengan kejadian kedua yang ada nashnya.kemudian syara’.[1]
Dalam beberapa keadaan terjadi, dua kubu dalam
penentuan hukum, yang berbeda dalam metode untuk mencapai ketetapan hukum
tersebut. Orang-orang yang menganut adanya qiyas menetapkan hukum dengan qiyas.
Sedangkan mereka yang tidak mengakui adanya qiyas ternyata menggunakan
ketetapan hukum yang sama, tetapi dengan metode yang berbeda.
Ibnu Hazm berkata,” Mereka telah berhujjah dengan
Firman Allah SWT:
tûïÏ%©!$#urtbqãBötÏM»oY|ÁósßJø9$#§NèOóOs9(#qè?ù'tÏpyèt/ör'Î/uä!#ypkàóOèdrßÎ=ô_$$sùtûüÏZ»uKrOZot$ù#y_wur(#qè=t7ø)s?öNçlm;¸oy»pky#Yt/r&4y7Í´¯»s9'ré&urãNèdtbqà)Å¡»xÿø9$#ÇÍÈ
“dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang
baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,
Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah
kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang
yang fasik”. (QS. An-Nur : 4)
Nash tersebut menerangkan tentang hukuman dera bagi
mereka yang menuduh zina kepada wanita-wanita yang sudah bekeluarga. Dan
hukuman tersebut diberikan juga kepada orang yang menuduh laki-laki berzina.
Metode seperti itu adalah qiyas.
Abu Muhammad berkata, “Kami mewajibkan untuk
penuduh laki-laki berzina sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunah.
Jika tidak terdapat nash yang jelas, maka kami tidak menggunakan metode qiyas.
Seandainya kami menggunakan metode qiyas-pun maka hasilnya tidak sama dengan
mereka. Dan di bawah ini kami terangkan bagaimana metode kami:
Firman Allah SWT. Dalam surah An-nur Ayat 4
tersebut adalah umum. Tidak boleh ditakhsish kecuali harus dengan nash atau
ijma’. Mungkin maksud Allah adalah wanita-wanita yang sudah menikah atau
laki-laki yang sudah menikah. Hal seperti itu tidaklah termasuk munkar dalam
bahasa dimana Al-Qur’an diturunkan, Allah berfirman dalam surah An-Naba ayuat
14:
$uZø9tRr&urz`ÏBÏNºuÅÇ÷èßJø9$#[ä!$tB%[`$¯gwRÇÊÍÈ
14. dan Kami turunkan dari awan air yang banyak
tercurah,
Yang dimaksud mu’shirat dalam ayat di
atas adalah ashhab.
Maka maksud Al-Muhsonat dalam surah
An-Nur tersebut adalah furuj-furuj yang sudah menikah. Padahal kamu semua
mengartikan sebagai wanita yang sudah menikah. Dan kami memperkuat pendapat
tersebut dengan dalil yang jelas.
Sesungguhnya furuj itu lebih umum
daripada wanita. Dan dimaklumi bahwa furuj adalah alat penghubung antara
seorang laki-laki dengan perempuan, dengan menjelaskan firman Allah SWT:
tûïÏ%©!$#uröNèdöNÎgÅ_rãàÿÏ9tbqÝàÏÿ»ymÇÎÈwÎ)#n?tãöNÎgÅ_ºurør&÷rr&$tBôMs3n=tBöNåkß]»yJ÷r&öNåk¨XÎ*sùçöxîúüÏBqè=tBÇÏÈ
5. dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
6. kecuali terhadap isteri-isteri mereka
atau budak yang mereka miliki[994]; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini
tiada terceIa.
Pada ayat lain Allah berfirman:
5. dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
6. kecuali terhadap isteri-isteri mereka
atau budak yang mereka miliki[994]; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini
tiada terceIa.
Pada ayat lain Allah berfirman:
@è%urÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9z`ôÒàÒøótô`ÏB£`ÏdÌ»|Áö/r&z`ôàxÿøtsur£`ßgy_rãèùwurúïÏö7ã£`ßgtFt^ÎwÎ)$tBtygsß$yg÷YÏB(ÇÌÊÈ ......
31. Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, .....(QS. An-Nur:
31)
Dengan ayat-ayat di atas sahlah bahwa
ayat tersebut sebagai perintah untuk mendera laki-laki yang mukhsan dengan
dali-dalil Al-Qur’an.
Dengan demikian, maka dapatlah dilihat
bahwa hukuman mendera untuk orang yang menuduh berzina kepada yang sudah
menikah adalah melalui dua metode yang berbeda.[1]
A.
ISTIHSAN
1.
Pengertian
Istihsan
Ilmu ushul fiqh
adalah ilmu yang menjelaskan metode–metode yang digunakan oleh para Imam
Mujtahid dalam mereka mengistibathkan dan mempelajari hukum–hukum agama
dari nas-nas dengan mengeluarkan `illat-`illat yang ditegakkan hukum atasnya
dan menyentuh maslahat–maslahat yang dikehendaki oleh syarak dan diisyaratkan
oleh al–Qur`an serta dijelaskan atau ditunjukkan oleh sunnah Nabi. Dengan kata
lain, Ilmu Ushul Fiqh adalah kumpulan kaidah–kaidah yang menjelaskan tentang
metode–metode mengeluarkan hukum dari sumber–sumber hukum, baik metode itu
bersifat lafzhi–seperti mempelajari petunjuk–petunjuk lafazh-lafazh syarak (dilalat
al-alfazh al-syar`iyyat) kepada pengertian-pengertiannya, metode mengistibathkankan
hukum-hukum dari petunjuk-petunjuk lafazh-lafazh itu, dan cara mengkompromikan dilalat
al-afazh ketika bertentangan pada lahirnya atau berbeda masanya–maupun
bersifat maknawi seperti mengeluarkan `illat-`illat dari nas-nas dan
menggeneralisasinya. [2] Istihsan menurut bahasa berarti ‘’menganggap baik’’. [3] Menurut istilah Ulama Ushul ialah berpindahnya orang Mujtahid dari
tuntutan Qiyas Jali (Qiyas nyata) kepada Qiyas Khafi (Qiyas samar) atau dari
hukum Kulli (umum) kepada hukum pengecualian, dan dimenangkan baginya
perpindahan ini. Jadi apabila terjadi
sesuatu kejadian dan tidak terdapat nash mengenai hukumnya, maka untuk
membicarakan hal itu ada dua segi yang bertentangan, yaitu:
Pertama : Segi
nyata yang menghendaki suatu hukum.
Kedua : Segi
tersembunyi yang menghendaki hukum lain.
Dan pada mujtahid sendiri
sudah terdapat dalil yang memenagnkan segi pandangan secara tersembunyi, maka
perpindahan dari segi pandangan yang nyata inilah yang menurut Syara disebut Al-Istihsan.Demikian
juga apabila hukum itu kulli pengecualian juz`iyah (bagian) dari hukum
kulli ini, dan memberi ketepatan kepada juz`iyah dengan hukum lain, maka
menurut syara ini juga disebut al-Istihsan.[4]
Istihsan menurut istilah adalah mengecualikan
hukum suatu peristiwa terhadap hukum peristiwa lain yang sejenis, karena ada
alasan yang kuat dari pengecualian tersebut. Dari pengertian ini dapat kita
pahami bahwa istihsan merupakan kebalikan dari qiyas. Pengertian qiyas adalah
mempersamakan hukum
suatu peristiwa dengan peristiwa lain, sedangkan istihsan adalah meninggalkan
ketetapan hukum suatu peristiwa yang ada.[1]
Macam – macam Istihsan
Dari definisi yang
dikemukakan di atas terlihat bahwa Ibn al-Arabi memberikan pengertian yang
lebih luas terhadap istihsan dengan memasukkan ke dalamnya berpegang
kepada dalil apapun yang bertentangan dengan nas umum atau kias yang umum.
Sesuai dengan pengertian itu ia membagi istihsan kepada empat macam,
yaitu:
a.
Istihsan dengan `urf
Imam Malik mengatakan bahwa mazhabnya meninggalkan
dalil umum karena ada `urf. [2]Ia
menolak sumpah karena `urf. Kalau seseorang bersumpah tidak akan
memasuki rumah, maka kias lafzhi, menurut bahasa, memasuki setiap tempat yang
bernama rumah seperti Mesjid berarti melanggar sumpah, akan tetapi Malik
melakukan Istihsan dengan
mentkhsishkan umum lafazh dengan `urf dan kebiasaan dalam praktek.
Menurut Malik, masuk Mesjid tidaklah melanggar sumpah karena mesjid tidak
dinamakan dalam `urf pembicaraan.
b.
Istihsan dengan maslahat
Adapun meninggalkan dalil umum karena maslahat
dicontohkan dengan jaminan buruh yang berserikat.Buruh yang berserikat itu pada
asalnya orang yang terpercaya. Dan orang yang terpercaya tidak perlu dijamin
kecuali karena telah tampak kecurangannya, akan tetapi Malik menetapkan hukum
lain dengan istihsan dan
meninggalkan kaidah asal ini karena kurangnya tanggung jawab dan seringnya
terjadi keterlaluan dan khianat pada para buruh. Kebiasaanlah yang menyebabkan
Malik menempatkan buruh pada posisi penggugat yang tidak diterima gugatannya
--- tentang adanya suatu kerusakan – tanpa keterangan, padahal pada asalnya
pekerja adalah terdakwa (tergugat) karena lahir nas menunjukkan demikian.dan
perkataannya tentang rusak atau hilangnya suatu barang dapat diterima tanpa
perlu pembuktian.
Dengan demikian Malik mengharuskan adanya jaminan bagi
pekerja yang berserikat telah mengecualikan kaidah asal – dalam masalah itu –
dengan maslahat.
c.
Istihsan dengan ijmak
Adapun meninggalkan kaidah umum atau dalil umum karena
ada ijmak, dicontohkan dengan kewajiban orang yang memotong akar keledai tunggangan
(baghat al-qadi) untuk membayar
seluruh harga kedelai itu. Hukum itu dianggap pengecualian dari kaidah umum,
karena kaidah umum menetapkan kewajiban membayar kerugian sebesar harga yang
berkurang dari benda yang rusak yang disebabkan oleh perbuatannya.Kalau
seseorang memukul binatang sampai pincang, kaidah umum hanya menetapkan
kewajiban membayar suatu harga yang berkurang akibat pukulannya itu. Segi istihsan
yang sandarannya ijmak – dari ketentuan yang mewajibkan atas orang yang
memotong ekor keledai tunggangan untuk membayar seluruh harga keledai itu –
adalah bahwa keledai tunggangan itu digunakan untuk kendaraan, bukan untuk
kepetingan lain. Maka dengan terpotongnya ekor keledai itu hilanglah seluruh
kemaslahatannya ditinjau dari segi penggunaan khusus ini, karena bila
dihubungkan dengan penggunaannya, keledai itu seperti tidak ada sama sekali;
terpotongnya ekor keledai itu seperti hilangnya keledai itu sendiri. Dan
pembayaran kerugian merupakan satu-satunya pilihan, karena terpotongnya ekor keledai
tersebut telah mengakibatkan pemiliknya teraniaya.Kemalaratan yang menimpa
pemilik keledai karena terpotongnya ekor keledainya itu harus dibayar dengan
harga keledai seluruhnya.
d.
Istihsan dengan kaidah raf
al-harj wa al-masyaqqat.
Kaidah raf al-harj wa al-masyaqqat (menolak
kesukaran dan kesulitan) merupakan kaidah yang qath`i dalam agama.
Contohnya adalah meninggalkan kehendak dalil pada masalah kecil untuk
menghilangkan kesukaran dan memberikan kelapangan kepada masyarakat.Golongan
Malikiyah membolehkan pemakaian kamar mandi umum tanpa ketentuan jumlah sewa,
lamanya masa pemakaian, dan jumlah air yang digunakan, padahal pada asalnya
yang demikian dilarang, sebab mengandung al-gharar (ketidakpastian).Dan
ketidakpastian biasanya dapat menimbulkan pertentangan.Akan tetapi mereka
mengatakan, semua itu jika tidak ditentukan dengan `urf akan
mengakibatkan kemudaratan.Padahal ada kaidah fikih yang mengatakan tidak
mungkin menghilangkan al-gharar secara keseluruhan, karena berarti
menyempitkan lapangan muamalat, yang mungkin dituntut adalah penyempurnaan dan
menjauhkan hal–hal yang dapat menimbulkan pertentangan, dan hal itu berarti
pelengkap (tahsiniyyat).Apabila mengutamakan pelengkap itu dapat membawa
kepada batalnya kemaslahatan yang pokok (daruriyyat) maka pelengkapi itu harus digugurkan seluruhnya.
Untuk terlaksananya hal
yang lebih penting maka haruslah ditolerir beberapa macam al-gharar yang biasanya tidak merusak
jual beli, karena kalau mukalaf dituntut melepaskan diri dari al-gharar, hal itu akan
memberatkannya, apabila al-gharar sudah jarang terjadi dan masalah pun telah mudah serta tidak lagi
terjadi pertentangan, dan al-hajat (kebutuhan) sudah sampai pada tingkat menyentuh toleransi maka baru
pada saat itulah al-gharar harus dihilangkan. Di antara akad yang menyangkut masalah ini adalah
masalah penentuan pemakaian air dan lamanya waktu yang dipakai di kamar mandi
umum.
1.
Nash para Fuqoha Hanafiyah bahwa seseorang
yang mewakafkan hartanya (al-Waqif), apabila telah mewakafkan sebidang tanah
pertanian, maka masuklah hak pengairan (irigasi), minum, jalan, dalam wakaf
tersebut, dengan sangsi ringan tanpa menyebutkannya, berdasarkan istihsan.
Menurut Qiyas, semua itu tidak mendapat perhitungan kecuali bila terdapat nash
atas semua itu, seperti jual-beli. Sedangkan jalan istihsan yaitu bahwa yang
dimaksud dengan wakaf ialah memanfaatkan harta yang diwakafkankepada mereka,
dan tidaklah bisa dikatakan mengambil manfaat tanah pertanian itu, kecuali
dengan minum, pengairan dan jalan, maka termasuklah semua itu dalam wakaf
sekalipun tanpa menyebutkannya, karena hal yang dimaksud itu tidak akan dapat
terwujud, kecuali dengan semua itu seperti halnya sewa-menyewa.
2.
Nash para Fuqoha Hanafiyah bahwa jika terjadi
perselisihan di antara penjual dan pembeli dalam kadar harga sebelum menerima
benda yang dijual, kemudian penjual mendakwa bahwa harga adalah 100 pound,
sedang pembeli mendakwa 90 pound, maka keduanya harus bersumpah, berdasarkan
Istihsan. Menurut Qiyas, penjual tidak perlu disumpah, karena dia mendakwa tambahan,
yaitu 10 pound. Sedang pembeli mengingkarinya, padahal saksi nyata itu wajib
atas pendakwa, dan sumpah itu wajib atas orang yang mengingkarinya, jadi tidak
ada sumpah bagi penjual. Jalan Istihsan yaitu bahwa penjual adalah pendakwa,
menurut kenyataan bila dihubungkan dengan tambahan, tetapi adalah yang
mengingkari hak pembeli dalam menyerahkan barang yang dijual setelah dibayar 90
pound. Pembeli secara nyata adalah yang mengingkari tambahan yang didakwakan
oleh penjual yaitu 10 pound, tetapi dia adalah pendakwa hak penyerahan penjual
kepada barang yang dijual setelah dibayar 90 pound. Jadi masing-masing (penjual
dan pembeli) adalah pendakwa dari satu
segi dan adalah yang ingkar dari segi lain, maka keduanya harus disumpah.
Jadi Qiyas nyata ialah
menyesuaikan kejadian ini dengan setiap kejadian di antara pendakwa dan orang
yang ingkar, maka saksi yang nyata itu wajib atas orang yang mendakwa, sedang
sumpah wajib atas orang yang ingkar.
Sedang Qiyas tersembunyi
ialah menyeseaikan kejadian tersebut dengan setiap kejadian di antara dua pihak
yang saling mendakwa masing – masing.Di saat yang satu dianggap sebagai
pendakwa (untuk satu pihak) dan orang yang ingkar (dipihak lainnya) maka
kedaunya harus disumpah.
3.
Nash para Fuqoha Hanafiyah, bahwa sisa yang
tinggal dari burung buas seperti burung garuda, burung gagak, burung elang, dan
burung rajawali (elang besar) adalah suci menurut Istihsan dan najis menurut
Qiyas.
Jalan Qiyas yaitu bahwa
sisa yang tetap tinggal dari binatang yang diharamkan dagingnya ialah seperti
binatang buas, misal; Asad (sebangsa macan tutul), Namr (harimau), siba` (binatang buas) dan serigala Dzib (anjing hutan).Hukum sisa yang tetap tinggal pada binatang itu
mengikuti hukum dagingnya.
Jalan Istihsan yaitu bahwa
burung buas itu sekalipun diharamkan dagingnya, akan tetapi bahwa air ludah
(air liur) yang keluar dari dagingnya dan tidak bercampur dengan sisanya yang
tetap tinggal, adalah tidak haram, karena ia meminum dengan paruhnya, padahal
paruhnya adalah tulang yang suci, adapun binatang buas, maka ia meminum dengan
lidahnya yang bercampur dengan air liurnya, maka oleh karena itu najislah
sisanya.
Kesamaran Dalil Ulama yang Tidak Menggunakan Hujjah al-Istihsan.
Terdapat sebuah kelompok
mujtahid yang menentang Istihsan dan menganggapnya sebagai istinbath hukum syara dengan kemauan
hawa nafsu dan rasa enak. Pimpinan kelompok ini adalah Imam Syafi`i, hal mana
telah dinukil daripadanya, bahwa ia berkata: ‘’Siapa melakukan Istihsan berarti
ia telah membentuk syariat’’, artinya orang tersebut memulai hukum Syariat dari
dirinya.
A.
Al-Mashlahah Al-Mursalah
1.
Pengertian Al-Mashlahah Al-Mursalah
Dari
segi bahasa, kata al-maslahah adalah seperti lafazhal-manfa’at,
baik artinya ataupun wajannya (timbangan kata), yaitu kalimat mashdar
yang sama artinya dengan kalimat ash-Shalah, seperti halnya lafazh
al-manfa’at sama artinya dengan al-naf’u.
Bisa
juga dikatakan bahwa al-mashlahah itu merupakan bentuk tunggal (mufrad)
dari kata al-mashalih. Pengarang Kamus Lisan Al-‘Arab menjelaskan
dua arti, yaitu al-mashlahah yang berarti al-shalah dan al-mashlahah
yang berarti bentuk tunggal dari al-mashalih. Semuanya mengandung arti
adanya manfaat baik secara asal maupun melalui suatu proses, seperti
menghasilkan kenikmatan dan faedah, ataupun pencegahan dan penjagaan, seperti
menjauhi kemadaratan dan penyakit. Semua itu bisa dikatakan mashlahah.[1]
Al-Mashalatu’l-Mursalah
(Maslahah mursalah) ialah mutlak. Menurut istilah Ahli Ushul, maslahah mursalah
diartikan kemaslahatan yang tidak disyari’atkan oleh syari’ dalam wujud hukum,
dalam rangka menciptakan kemaslahatan, disamping tidak terdapat dalil yang
benar atau menyalahkan.[2]
Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan ketentuan
illat yang keluar dari syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan
pemeliharaan kemadaratan atau untuk menyatakan suatu manfaat, maka kejadian
tersebut dinamakan al-Mashlahah al-Mursalah. [3]
. Imam Al-Ghazali,
mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah adalah “mengambil manfaat dan
menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.”
Tujuan syara’ yang
harus dipelihara tersebut, menurut al-Ghazali, ada lima bentuk yaitu: memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan
yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’ di atas, maka
dinamakan maslahah. Di samping itu, upaya untuk menolak segala bentuk
kemudaratan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut, juga
dinamakan maslahah.
Dengan demikian,
al-Maslahah al-Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar
dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya.Sedangkan alasan dikatakan
al-mursalah, karena syara’ memutlakannya bahwa di dalamnya tidak terdapat
kaidah syara’ menjadi penguatnya ataupun pembatalnya.[4]
Misalnya,
kemashlahatan yang diambil oleh para sahabat dalam mensyari’atkannya adanya
penjara (bui), dicetaknya mata uang, penetapan hak milik pertanian, dan
penentuan pajak penghasilan. Serta banyak hal lagi mashlahah yang diadakan
berasarkan kebutuhan, keadaan dan kebaikan yang belum ada syar’at hukumnya, di
samping tidak adanya hukum syara’ yang membenarkan atau menyalahkan.[5]
Tidak
juga dikatakan al-mashlahah bila ada dua kemaslahatan yang saling bertentangan
dan masing-masing mempunyai penguat atau pembantal. Hal tersebut tidak termasuk
dalam kategori jauh dari penguat dan pembatal.
Selain
itu, juga tidak termasuk al-mashlahah al-mursalah segala kemashlahatan yang
bertentangan dengan nash atau qiyas yang shahih, baik pertentangannya secara
umum maupun mutlak. karena semua pertentangan terhadap keduanya terdapat
penguat untuk membatalkannya, maka tidak sah untuk dikatakan mursal.
Namun
demikian, al-mashlahah al-mursalah itu jangan dipahami tidak memiliki dalil
untuk dijadikan sandarannya atau jauh dari dalil-dalil pembatalnya. Tapi harus
dipahami bahwa al-mashlahah al-mursalah berdasarkan pada dalil yang terdapat
pada syara’, namun tidak dikhususkan terhadap al-mashlahah al-mursalah ini.
Bisa dikatakan melalui metode yang jauh, seperti penjagaan terhadap roh, akal
dan keturunan.[6]
Contoh Maslahah
Mursalah
a. Munasib (kemaslahatan)
yang diakui
Dalam Islam terdapat
hukum-hukum yang ditetapkan untuk melindungi agama Islam, jiwa manusia, akal
manusia, keturunan manusia dan harta kekayaan manusia.
Misalnya jihad dan
hukuman mati atas orang yang murtad diterapkan untuk melindungi agama Islam.
Qishash ditetapkan untuk melndungi jiwa manusia dari upaya menyakiti dan
membunuhnya. Diharamkannya meminum minuman untuk melindungi akal manusia dari
mabuk. Sanksi potong tangan atas pencuri, begitu juga ganti rugi atas harta
yang diambil dengan cara yang tidak sah untuk melindungi harta manusia dari
kesewenang-wenangan orang lain. Diharamkannya zina untuk melindungi keturunan
manusia. Diizinkan tidak puasa Ramadhan bagi orang musafir dan sakit untuk
memberikan kemudahan bagi orang yang musafir dalam menjalankan ibadah puasa.
Semua ulama sepakat
berpendapat bahwa semua tujuan-tujuan hukum tersebut, yaitu melindungi agama
Islam, jiwa manusia, akal manusia, keturunan manusia dan harta kekayaan
manusia, dapat dijadikan landasan penetapan hukum, karena penelitian
membuktikan bahwa motivasi penetapan hukum-hukum Syariat Islam adalah untuk
merealisasikan kemaslahatan bagi manusia atau menghindarkan
kesulitan bagi manusia.
b. Munasib (kemaslahatan)
yang tidak diakui
Rasulullah Muhammad saw
menjelaskan sanksi atas orang yang senggama ketika melakukan puasa Ramadhan ada
tiga, yaitu pertama, memerdekakan budak, jika tidak mampu harus puasa
dua bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu juga hendaklah memberi makan 60
orang miskin.
Bolehkan sanksi
tersebut diatur sedemikian rupa untuk disesuaikan dengan pelanggarnya?
Contohnya jika senggama tersebut dilakukan orang kaya tentu ia dapat membayar
sanksi pertama yaitu pembebasan budak dengan mudah, sehingga ia dapat melakukan
senggama beberapa kali. Bolehkah sanksinya ditukar dengan sanksi yang lebih
berat yaitu puasa dua bulan berturut-turut demi mewujudkan kemaslahatan
yaitu dapat mencegahnya melakukannya lagi?
Para ahli fiqh tidak
memperbolehkannya, karena terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala
(Pembuat hukum Islam) tidak mengakui kemaslahatan tersebut, yaitu teks hadis
Rasulullah saw di atas telah menentukan urutan sanksinya, yaitu pertama ialah
membebaskan budak, meskipun puasa dua bulan mungkin akan lebih mampu mencegah melakukannya
karena jauh lebih berat bagi pelanggarnya.
c. Munasib (kemaslahatan)
yang tidak diakui dan tidak ditolak
Ada pula munasib yang
tidak ditemukan dalil yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala (Pembuat hukum)
mengakuinya atau menolaknya, baik dalil berupa nash (teks) maupun ijma’
(konsensus) fuqaha’. Artinya tidak terdapat dalam Syariat Islam sesuatu yang
menyetujuinya maupun yang menolaknya.
Bagian yang ketiga
inilah yang menjadi bidang perbedaan pendapat di kalangan fuqaha’ tentang
apakah boleh menjadikannya sebagai ta’lil (faktor) penetapan hukum.
Mazhab Maliki menyebut
bagian ketiga ini dengan مصالح مرسلة (mashalih
mursalah). Imam Haramain dari
pendukung mazhab Syafii menyebutnya استدلال (Istidlal). Gazali dari pendukung mazhab Syafii juga menyebutnya استصلاح (Istishlah). Demikianlah beberapa nama yang diberikan para faqih, namun hakikatnya
satu yaitu munasabah (kemaslahatan) yang tidak ditemukan dalil yang menunjukkan
bahwa Allah Ta’ala (Pembuat hukum) mengakuinya atau menolaknya.[7]
2.
Kehujjahan Al-Maslahah
Al-Mursalah
Adapun terhadap kehujjahan maslahah
al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama menerimanya sebagai salah satu alasan
dalam menetapkan hukum syara’, sekalipun dalam penerapan dan penempatan
syaratnya, mereka berbeda pendapat.
Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa
untuk menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil disyaratkan maslahah
tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits atau ijma’ yang
menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat
(motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi
motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi suatu hukum.
Ulama Malikiyyah dan Hanabilah
menerima maslahah al-mursalah sebagi dalil dalam menetapkan hukum, bahkan
mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya.
Untuk bisa menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan
hukum, ulama Malikiyyah dan Hanabilah mensyaratkan tiga syarat, yaitu:
a.
Kemaslahatan
itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis kemaslahatan yang
didukung nash secara umum.
b.
Kemaslahatan
itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang
ditetapkan melalui maslahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan
menghindari atau menolak kemudaratan.
c.
Kemaslahatan
itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau
kelompok kecil tertentu.
Ulama golongan Syafi’iyyah, pada dasarnya, juga
menjadikan maslahah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, Imam Syafi’i,
memasukkannya ke dalam qiyas. Ada beberapa syarat yang dikemukakan al-Ghazali
terhadap kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam mengistinbatkan hukum,
yaitu:
a. Maslahah
itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara’
b. Maslahah
itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’
c. Maslahah
itu termasuk ke dalam kategori maslahah yang dharuri, baik menyangkut
kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu
berlaku sama untuk semua orang.
Dengan demikian, Jumhur Ulama
sebenarnya menerima maslahah al-mursalah sebagai salah satu metode dalam
mengistinbatkan hukum islam.Alasan Jumhur Ulama dalam menetapkan maslahah dapat
dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum, antara lain adalah:
a.
Hasil
induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung
kemaslahatan bagi manusia.
b.
Kemaslahatan
manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan
mereka sendiri. Apabila syari’at islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja,
akan membawa kesulitan.
c.
Jumhur Ulama
juga beralasan dengan merujuk kepada beberapa perbuatan sahabat, seperti Umar
ibn al-Khathab tidak memberi bagian zakat kepada para muallaf (orang yang baru
masuk islam), karena menurut ‘Umar, kemaslahatan orang banyak menuntut untuk
hal itu.
3.
Syarat-Syarat Untuk Bisa Dipakai Sebagai Hujjah
a.
Harus benar-benar membuahkan mashlahah atau tidak didasarkan
mengada-ada. Maksudnya ialah agar bisa diwujudkan pembentukkan hukum tentang
masalah atau peristiwa yang melahirkan kemanfaatan dan menolak kemadharatan.
b.
Mashlahah itu sifatnya umum, bukan bersifat perorangan. Maksudnya
ialah bahwa dalam kaitannya dengan pembentukkan hukum atas suatu kejadian atau
masalah dapat melahirkan kemanfaatan bagi kebanyakan umat manusia yang
benar-benar dapat terwujud atau bisa kemadharatan, atau tidak mendatangkan
kemanfaatan bagi seorang atau beberapa orang saja.
c.
Pembentuk hukum dengan mengambil kemashlahatan ini tidak berlawanan
dengan kata hukum atau dasar ketetapan nash dan ijma’. Karena itu tuntutan
kemashlahatan untuk mempersamakan anak laki-laki dan wanita dalam hal pembagian
harta waris, merupakan mashlahah yang tidak bisa dibenarkan. Sebab mashlahat
yang demikian itu adalah batal.[8]
4.
Keraguan orang yang tidak menggunakan Al-Mashlahat Al-Mursalah
sebagai Hujjah. Alasan mereka ialah:
a.
Syari’atlah yang akan memelihara kemashlahatan umat manusia dengan
nash-nash dan petunjuk kias. Sebab, syara’ tidak akan berlaku menyia-nyiakan
manusia. Terbukanya pintu nafsu
b.
Pembentukan hukum bedasarkan keharusan adanya mashlahah menyebabkan
terbukanya pintu nafsu antara para pemimpin penguasa dan ulama fatwa (mufti).
Dengan demikian, sebagian mereka terkadang kalah dengan hawa nafsu dan
keinginannya. Sebagai akibatnya, mereka bisa menghalalkan mafsadah untuk
kemashlahatan. Diperkirakan, yang berbeda pendapat dan berbeda kondisi
lingkungan. Jadi, dibolehkannya membentuk hukum dengan dasar kemashlahatan
secara mutlak berarti membuka pintu kejahatan.[9]
B.
AL-ISTISHHAB
1. Pengertian Istishhab
Istishhab
secara harfiyah adalah mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan menurut
Ulama Ushul adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai
terhadap dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum
yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaanya sampai
terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya.[10]
Dan
apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum binatang, benda-benda,
tumbuhan-tumbuhan, makanan dan minuman, atau suatu amal yang hukumnya tidak
ditemukan dalam suatu dalil syara’ maka hukumnya adalah boleh. Kebolehan adalah
pangkal (asal), meskipun tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas kebolehannya.
Dengan demikian pangkal sesuatu itu adalah boleh.[11]
Asyaukani
menta’rifkan Istishhab dengan: “Tetapnya sesuatu hukum selama tidak ada yang
mengubahnya”.[12]
Jadi,
hukum yang telah ditetapkan pada masa yang lalu terus berlaku sampai ada dalil
lain yang merubah hukum tersebut. Atau sebaliknya apa yang tidak ditetapkan
pada masa lalu, terus demikian keadaannya sampai ada dalil yang menetapkan
hukumnya.
Contoh tentang
Istishhab adalah sebagai berikut:
a. Apabila telah jelas adanya pemilikan
terhadap sesuatu harta karena adanya bukti terjadinya pemilikan seperti karena
membeli, warisan, hibbah atau wasiat, maka pemilikan tadi terus berlangsung
sehingga ada bukti-bukti lain yang menunjukkan perpindahan pemilikan pada orang
lain.
b. Orang yang hilang tetap dianggap hidup
sebagai ada bukti atau tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa dia meninggal
dunia.
c. Seorang yang telah menikah terus
dianggap ada dalam hubungan suami-istri sampai ada bukti lain bahwa mereka
telah bercerai, misalnya dengan talaq.
2. Pembagian Istishhab
1) Istishhab al-Bar’at al-Ashliyyah: Menurut
Ibn al-Qayyim disebut Bar’at al-Adam al-Ashliyyah. Seperti terlepasnya tanggung
jawab dari segala taklif sampai ada bukti yang menetapkan takliefnya. Seperti
anak kecil sampai dengan datangnya balig, tidak ada kewajiban dan hak antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bersifat pernikahan sampai adanya
akad nikah.
2) Istishhab yang ditujukan oleh syara atau
akal, seperti seorang harus tetap bertanggung jawab terhadap utang sampai ada
bukti dia telah melunasinya.
3) Istishhab hukum seperti sesuatu telah
ditetapkan dengan hukum mubah atau haram,m maka hukum ini terus
berlangsungsampai ada dalil yang mengharamkan yang asalnya mubah atau
membolehkan yang salnya haram. Dan yang asal dalam sesuatu (muamalah) adalah
kebolehan.
Kebolehan
ini didasarkan kepada firman Allah:
uqèdÏ%©!$#Yn=y{Nä3s9$¨BÎûÇÚöF{$#$YèÏJy_
“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada
di bumi untuk kamu”. (al-Baqarah ayat 29)
t¤yur/ä3s9$¨BÎûÏNºuq»yJ¡¡9$#$tBurÎûÇÚöF{$#$YèÏHsdçm÷ZÏiB
“Dan ia telah mudahkan bagimu apa-apa
yang di langitdan apa-apa yang di bumi semuanya”. (al-Jatsiyah
ayat 13)
4) Istishhab Washaf.
Seperti
keadaan hidupnya seseorang dinisbatkan kepada orang yang hilang. Prof. Muhammad
Abu Zahrah mengatakan: bahwa setiap Fuqaha menggunakan Istishhab dari macam a
sampai c, sedangkan mereka berbeda pendapat, ulama-ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah menggunakan Istishhab washaf secara mutlak dalam artibisa menetapkan
hak-hak yang telah ada pada waktu tertentu dan seterunya serta bisa pula
menetapkan hak-hak yang baru, sedangkan ulama Malikiyah hanya menggunakan
Istishhab washaf ini untuk hak-hak dan kewajiban yang telah ada, sedang untuk
hak-hak yang baru mereka tidak mau memakainya.
Contohnya:
apabila seseorang dalam keadaan hidup meninggalkan kampung halamannya, maka
orang ini oleh semua mazhab dianggap tetap hidup sampai ada bukti-bukti yang
menunjukkan bahwa dia sudah meninggal dunia, oleh karena itu, tetap istrinya
ada dalam tanggung jawabnya dan pemilikannya terhadap sesuatu tidak berubah.
Apabila kemudian orang tua dari orang yang hilang ini meninggal dunia, maka
menurut Malikiyah dan Hanafiyah: qoyim yaitu orang yang mengurus harta si
mafkud tidak bisa meminta bagiannya dipelihara sebagai amanat sehingga jelas ia
telah meninggal, sebaliknya yaitu apabila ahli waris si mafkud minta dibagi
harta si mafkud, maka hal ini ditolak berdasarkan istishhab yang digunakan oleh
ulama-ulama Hanafiyah adalah li daf’ l li
itsbtyaitu untuk menolak bukan untuk menetapkan.[13]
3.
Kehujjahan Istishhab
Istishhab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali
bagi para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya.
Ulama ushul barkata, “Sesungguhnya Istishhab adalah akhir tempat beredarnya fatwa.”
Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama
tidak terdapat dalil yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam
mengelola berbagai ketetapan untuk mereka.
Seorang manusia yang hidup tetap dihukumi atas hidupnya dan
pengelolaan atas kehidupan ini diberikan kepadanya sampai terdapat dalil yang
menunjukkan adanya keputusan tentang kematiannya.
Hukum telah berjalan menurut keadaan ini. Jadi, suatu kepemilikan
misalnya, tetap menjadi milik siapa saja berdasarkan sebab beberapa
kepemilikan. Maka kepemilikan itu dianggap ada sampai ada ketetapan yang
menghilangkan kepemilikan tersebut.
Begitu juga kehalalan pernikahan bagi suami-istri sebab akad
pernikahan dianggap ada sampai ada ketetapan yang menghapuskan kehalalan itu.
Istishhab juga telah dijadikan dasar bagi prinsip-prinsip syariat,
antara lain sebagai berikut, “Asal sesuatu adalah ketetapan yang ada menurut
keadaan semula sehingga terdapat suatu yang mengubahnya”. Sesuai dengan kaidah:
الأصل فى الأ
شيا ءِ ا لإ با حة
Artinya:
“Asal segala sesuatu adalah kebolehan.”[14]
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau
penyamaan sesuatu dengan sejenisnya. Ulama ushul fiqh memberikan definisi yang
berbeda-beda bergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan qiyas
dalam istinbath hukum.
Istihsan menurut bahasa berarti ‘’menganggap baik’’.
Menurut istilah Ulama Ushul ialah berpindahnya orang Mujtahid dari tuntutan
Qiyas Jali (Qiyas nyata) kepada Qiyas Khafi (Qiyas samar) atau dari hukum Kulli
(umum) kepada hukum pengecualian, dan dimenangkan baginya perpindahan ini.
Menurut istilah Ahli Ushul, maslahah mursalah diartikan
kemaslahatan yang tidak disyari’atkan oleh syari’ dalam wujud hukum, dalam
rangka menciptakan kemaslahatan, disamping tidak terdapat dalil yang benar atau
menyalahkan.
Menurut
Ulama Ushul, istishhab adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan
sebelumnya sampai terhadap dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keadaan, atau
menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut
keadaanya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf. 1979. Kaidah – Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul
fiqh). Jakarta: Rajawali Pers.
Djazuli, H.A. 2006, Ilmu Fiqh,
Jakarta: kencana
Iskandar, Usman. Pembaharuan Hukum Islam.
1994. Jakarta: Rajawali Pers.
Khalaf,
Abdul Wahab. 1992. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Gema Risalah Press
Ngainum Naim. Sejarah Pemikiran Hukum
Islam. 2009. Yogyakarta: Teras.
Syafi’e,
Rachmat . 2010. Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN, PTAIS. Bandung:
Pustaka Setia
[1]Rachmat Syafe’i, hal.117.
[2]Abdul Wahab Khalaf, Op.cit, 142.
[3]Rachmat Syafe’i, Op.cit
[5]Abdul Wahab Khalaf, op.cit, hal. 142
[6]Rahmat Syafe’i. Op.cit., hal.121.
[8]Abdul Wahab Khalaf, op.cit, hal.145
[9]Ibid, hal.146
[10]Racmat Syafi’e, Op.cit., hal.125
[11]Ibid., hal.125
[12]Asyaukani,Op Cit.,hal.237.
[13]Prof. H.A. Djazuli,2006, Ilmu
Fiqh, Jakarta: kencana
[14]Rachmat Syafi’e. Op.cit. hal.91.
[1]Ngainum Naim, Sejarah
Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta; TERAS, 2009.
[2]`urf ialah sesuatu
yang telah berkembang dan terkenal dalam masyarakat tidak dipandang jijik dan
buruk. Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, selanjutnya
disebut falsafah, Cet. III, Bulan Bintang, Jakarta, 1988, Hal. 87
[1]Rachmat Syafe’i, Op.cit., hal 91.
[2]Muhammad Abu Zahrah, Ushul
al-Fiqh, selanjutnya disebut Ushul, Dar al-Fikr al-Arabi, hal. 3
[3]Abdul Aziz Ibn
Abdurrahman Ibn Ali al-Rabi`ah, Adillat al-Tasyri` al-Mukhtalaf Fi
al-Ihtijaj Biha, Mu`assat al-Risalat, Cet. I, 1339 H, Hal. 155
[4]Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah
Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh), Yogyakarta; Rajawali Pers, 1985.
makasih min atas postingannya. makalah ini sangat membantu aku....
BalasHapus